Bismllah
JANGGUT
JANGGUT
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول لله و
من والى – أما بعد
Sesungguhnya hukum MEMELIHARA janggut dan larangan MENCUKUR
(licin) janggut adalah jelas kepada wajib memeliharanya (membiarkannya
panjang), dan haram mencukurnya licin.
Ibnu Hazm bahkan telah menukil ijma’ (kesepakatan) tentang hukum
wajibnya memotong kumis dan memelihara jenggot.
Dalam kitab At-Tamhid Imam Ibnu Abdil Barr berkata: “Haram hukumnya
mencukur jenggot, sesungguhnya perbuatan tersebut hanya dilakukan oleh kaum
banci.” Yaitu perbuatan tersebut termasuk menyerupai kaum wanita.
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah rahimahullah mengatakan: “Dalil-dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah
serta ijma’ telah memerintahkan supaya menyelisihi orang-orang kafir dan
melarang menyerupai mereka. Sebab menyerupai mereka secara lahiriyah merupakan
sebab menyerupai tabiat dan tingkah laku mereka yang tercela. Bahkan merupakan
sebab meniru keyakinan-keyakinan sesat mereka. Dan dapat mewariskan benih-benih
kecintaan dan loyalitas dalam batin kepada mereka. Sebagaimana kecintaan dalam
hati dapat menyeret kepada penyerupaan dalam bentuk lahiriyah. Imam At-Tirmidzi
meriwayatkan bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda:
“Bukanlah termasuk golongan kami orang yang menyerupai selain kami. Maka janganlah
kalian menyerupai kaum Yahudi dan Nasrani.” Dalam riwayat lain
berbunyi: “Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka ia termasuk golongan mereka.”
(H.R Imam Ahmad).
Dan
mencukur janggut adalah termasuk perbuatan meniru dan menyerupai kaum Yahudi
dan Nasara serta kaum majusi.
Dalil-dalinya
cukup banyak dapat di kumpulkan seperti berikut;
“Abdullah
bin Umar berkata : Bersabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam : Janganlah
kamu menyerupai orang-orang Musyrikin, peliharalah jenggot kamu dan tipiskanlah
kumis kamu”. HR al Bukhari, Muslim dan al Baihaqi.
“Dari Abi Imamah : Bersabda
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam : Potonglah kumis kamu dan
peliharalah jenggot kamu, tinggalkan (jangan meniru) Ahl al-Kitab”.
Hadits sahih, HR Ahmad dan at Tabrani.
“Dari Aisyah berkata :
Bersabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam : Sepuluh perkara dari
fitrah (dari sunnah nabi-nabi) diantaranya ialah mencukur kumis dan memelihara
jenggot”. HR Ahmad, Muslim, Abu Daud, at Tirmidzi, an Nasaii dan Ibn
Majah.
“Dari Abdullah bin Umar
berkata : Pernah disebut kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam seorang
Majusi maka beliau bersabda : Mereka (orang-orang Majusi) memelihara
kumis mereka dan mencukur jenggot mereka, maka (janganlah menyerupai cara
mereka) tinggalkan cara mereka”. HR al Baihaqi.
“Dari Ibn Umar Radiyallahu
‘anhu berkata : Kami diperintah supaya memelihara jenggot”. HR
Muslim.
“Dari Abi Hurairah :
Bersabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam : Cukurlah kumis kamu dan
peliharalah jenggot kamu”. HR Muslim.
“Dari Abi Hurairah berkata
: Bersabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam : Peliharalah jenggot
kamu dan cukurlah kumis kamu, janganlah kamu meniru (menyerupai) Yahudi dan
Nasrani”. HR Ahmad.
“Dari Ibn Abbas berkata :
Bersabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam : Janganlah kamu meniru
(menyerupai) Ajam (orang asing dan kafir), maka peliharalah jenggot kamu”.
HR al Bazzar.
“Janganlah kamu menyerupai
orang-orang Musyrikin, peliharalah jenggot kamu”. HR
al-Bukhari dan Muslim.
“Tinggalkan cara
mereka (jangan meniru orang-orang musyrik) peliharalah jenggot kamu dan
cukurlah kumis kamu”. HR al-Bazzar.
“Tinggalkan cara Majusi
(jangan meniru Majusi)”. HR Muslim.
“Dan janganlah kamu
sekalian menyerupai Yahudi dan Nasrani”. HR Ahmad.
“Janganlah kamu sekalian
menyerupai orang-orang yang bukan Islam, peliharalah jenggot kamu”.
HR al-Bazzar.
Jumhur ulama (ulama tafsir,
hadits dan fiqah) menegaskan bahwa perintah yang terdapat pada hadits-hadits
(tentang jenggot) adalah menunjukkan perintah yang wajib bukan sunnah karena ia
menggunakan lafaz atau kalimah “perliharalah janggut” : “nada (gaya)
perintah” yang tegas, jelas (dan diulang-ulang).
Permasalahan memotong
sebahagian daripada janggut..
Jika di perhatikan kepada
dalil-dalil perintah memelihara janggut, ia memnunjukan kepada perintah secara
am, tanpa membatasi dengan larangan memotongnya, bermakna jika di ambil
daripada perintah umum, seseorang wajib memeliharanya sehingga walaupun janggutnya
mencecah lutut..
Oleh itu sebahagian ulama
salafiyyin memuthlaqkan pemeliharaan tanpa batasan..
Berkata imam mujaddid
al-yemeni sheikh Muqbil rahimahullah; ‘..Demikian pula memotong sebagian jenggot dan membiarkan
sebagiannya, ini juga tidak diperbolehkan karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda: أعفوا, maknanya adalah biarkanlah sebagaimana diciptakan Allah. Juga
sabda beliau وَفِّرُوا, dan ارخوا
begitu
jugaa fatwa lajnah daaimah assu’udiyyah; ‘..Dalam riwayat lain disebutkan:
“Tebal jenggotnya” dalam riwayat lain: “Banyak jenggotnya”, maknanya sama yakni
lebat jenggotnya. Oleh karena itu tidak dibolehkan memotong sedikitpun darinya
berdasarkan dalil-dalil umum yang melarangnya.
(Fatawa Lajnah Daimah Jilid V/133, Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al Ilmiyah wal Ifta, Dewan Tetap Arab saudi untuk riset-riset ilmiyah dan fatwa).
(Fatawa Lajnah Daimah Jilid V/133, Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al Ilmiyah wal Ifta, Dewan Tetap Arab saudi untuk riset-riset ilmiyah dan fatwa).
Sshaikh
al-albani rahimahhullah pula berkata, tidak ada satu hadis pun yang melarang
memotong (sebahagian) janggut.
namun
menjadi perbahasan adalah apabila terdapat riwayat yang menjelaskan bahawa ibn
‘umar pernah memotong janggutnya sebatas genggaman tangannya..
“Semasa Ibn Umar mengerjakan haji atau umrah,
beliau menggenggam jenggotnya, mana yang lebih (dari genggamannya) dipotong”. HR al-Bukhari.
Malah sheikh
Al-albani juga mengatakan bahawa bukan hanya ibn ‘umar sahaja yang
melakukannya, bahkan beberapa sahabat lain seperti abu Huraira r.a, malah seorang tabi’in Ibraahim an-nakho’i
berkata; bahawa sahabat dulunya mereka memotong janggut mereka.
Perbedaan pendapat
terjadi apabila sebahgian ulaama tidak menggangap perbuatan ibn ‘umar boleh di
jadidkan hujjah, seperti pendapat sheikh Muqbil rahimahullah, dia berkata;
‘’.. Adapun riwayat dari Abdullah ibnu ‘Umar
radhiallahu 'anhuma bahwa bila melaksanakan haji atau umrah beliau radhiallahu
'anhuma mengambil (memotong) jenggot yang melebihi ukuran genggaman tangan, ini
bukanlah hujjah, karena yang dinamakan hujjah adalah Kitabullah dan Sunnah
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Maka beliau rahimahullah berpendapat bahawa perintah
memelihara janggut harus di praktikkannnya menurut maksud umum, iaitu memeliha
janngut tanpa batasan..
Adapun sheikh al-Albani rahimahuhllah mengatakan bahawa
perbuataan ibn ‘umar adalah hujjah (fatawa asyrithoh), dan ibn ‘umar sendiri
adalah salah seorang dari perawi hadis memerintahkan memelihara janggutt, dan
di dalam kaedaah yg mayshhur di dalam
ilmu fiqh mengatakan bahawa; ‘seorang perawi lebih mengetahui tentang apa yg
dia riwayatkan daripada orang lain’, dan di ketahui juga ibn ‘umar adalah
seorang sahabat yg paling bersungguh-sungguh dan paling bersemangat mengikuti
sunnah Rasulullah saw, oleh itu tidak mungkin di dalam perkara ini ibn ‘umar melakukan
sesuatu yg tidak di lakukan oleh rasulullah saw.
Sheikh Al-albani berkata; hadis2 memelihara janggut tidak
boleh di ambil secara ithlaq kerana terbukti secara amalannya para sahabat
membatasinya dengan memotongnya (separas genggaman tangan), hal ini berdasarkan
kaedah; ‘ setiap nas yang umum yg tidak ada praktik amalan secara umum, maka tidak
boleh di jadikan hujjah keumumannya’.
Sebagai contoh hadis kelebihan sholat berjemaah , ; “Shalat berjamaah lebih utama dua puluh tujuh derajat
daripada shalat sendirian.” (HR. Al-Bukhari no. 131 dan Muslim no. 650)
“Shalat seorang laki-laki dengan berjama’ah dibanding
shalatnya di rumah atau di pasarnya lebih utama (dilipat gandakan) pahalanya
dengan dua puluh lima kali lipat (HR. Al-Bukhari no. 131 dan Muslim no. 649)
Hadis-hadis ini adalah
bertaraf umum, namun apakah jika kita masuk ke masjid selepas azan fadhu, kita
mengumpulkan orang untuk sholat sunat qobliyah secara jemaah berdasarkan hadis
di atas..? jawabnya tidak kerana tidak ada dari perbuatan sahabat dan salaf yg
mengamalkannya..!
Begitu juga di perlakukan
hadis-hadis memelihara janggut, tidak ada sahabat yg memahami hadis-hadis
tersebut sebagai perintah ithlaq membiarkan janggut tanpa batasan, bahkan
terdapat perbuatan sahabat yg membataskannya (genggaman tangan). Oleh itu tidak
boleh memperlakukan hadis umum atas keumumannya, bila tiada amalan sahabat dan
salaf yg mengamalkan keumumannya.
Berkata sheikh Al-albani rahimahullah; (sabda Nabi), ‘..perliharalah janggut..!’, ini adalah nas
yang umum, akan tetapi bolehkah
kita mengambil amalan di atas nas
yang umum ..? jawabannya tidak, kerana disisi kita ada nas-nas daripada salaf
(yang membatasi nas umum , iaitu dgn memotong janggut sebatas genggaman tangan)
dan tidak ada yang menyelisihi mereka, maka tertegaklah hujjah bahwa
mengambil/memotong di bolehkan dengan dalil ibn ‘umar dan mereka yang
mengikutinya di kalangan salaf.’ (faawa aysrithoh)
Wallahu’alam
Ini sahaja yg sempat ana susunkan yg kesimpulannya boleh bagi
seseorang memotong janggutnya yang melebihi genggaman/cekak tangannya.. malah
ada sebahagian salaf yg mengharuskannya..malah sshaikh mengatakan membiarkan
janggut tanpa batas sebagai perkara muhdats/baru..
Boleh semak di dalam fawa sheikh al-albani yg berikut..
Penanya:
Kami
telah mengetahui dari sebagian ikhwan penuntut ilmu, bahwa syaikh mengatakan
kepada orang yang membiarkan jenggotnya (panjangnya) melebihi satu genggaman
tangan bahwa mereka termasuk ahli bid'ah, sementara Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam dalam berbagai hadits bersabda tentang memelihara jenggot. Kami telah
mendengar pula bahwa Ibnu Umar biasa mencukur lebih pendek dari satu satu
genggaman tangan apabila naik haji ataupun umrah. Berilah keterangan kepada
kami, bagaimana orang yang demikian dikatakan melakukan bid'ah sementara Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam dalam berbagai hadits bersabda, "Peliharalah
jenggot."
Syaikh
Al-Albani rahimahullah menjawab:
Persoalan
ini pada hakikatnya termasuk masalah-masalah fikih yang sangat memerlukan
kejelian dan lahir dari pemahaman. Ia berdiri di atas asas syar'i. Barangsiapa
yang telah memahami asas ini, maka akan mudah baginya memahami masalah
cabangnya dan persoalan-persoalan parsial lain yang sangat banyak.
Aku
katakan pada momen seperti ini, sesungguhnya semua nash
global (umum)
yang dinukil dari Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam dan padanya terdapat
bagian yang masuk dalam cakupan nash global tersebut, kita ketahui dengan cara
tertentu bahwa bagian ini tidak diamalkan oleh Rasul shallallahu 'alaihi wa
sallam ataupun Salafush Shalih. Maka, pada kondisi demikian mengamalkan bagian
tersebut -meski masuk dalam cakupan nash global- tetap dianggap melakukan
perbuatan baru dalam agama.
Pada
hakikatnya, kelalaian terhadap kaidah ini -dalam memahami nash-nash yang
demikian banyak- telah menjerumuskan kaum muslimin, khususnya di abad-abad
belakangan, hingga mereka membuka peluang seluas-luasnya bagi diri mereka untuk
mengadakan tata cara dalam agama dan dalam taqarrub kepada Allah, Tuhan semesta
alam; yaitu berupa bid'ah dan hal-hal baru yang mereka adakan.
Pada
kesempatan ini, aku akan menyebutkan sekian banyak contoh bagi permasalahan
ini. Di antaranya perbuatan yang belum pernah dilakukan oleh kaum muslimin
hingga saat ini, namun perbuatan yang serupa puluhan, ratusan dan bahkan ribuan
telah dipraktikkan. Perbedaanya hanya karena apa yang akan aku sebutkan belum
pernah dilakukan. Bukan karena kedudukannya sebagai bid'ah, akan tetapi
semata-mata karena belum menjadi kebiasaan. Sedangkan bid'ah-bid'ah mirip
sekali dengan perbuatan ini, hanya saja mereka menyederhanakannya lalu
mengamalkannya karena kebiasaan yang berlaku sudah demikian. Mari kita sebutkan
contoh yang dimaksud.
Setiap
kita mengetahui sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, "Shalat
berjama'ah lebih utama daripada shalat sendiri dengan dua puluh lima -dalam
riwayat lain dua puluh tujuh- kali derajat" Disebutkan di sini shalat berjama'ah,
sementara hadits yang bersifat global dan lebih luas cakupannya dari itu
adalah, "Tangan Allah bersama
jama'ah."
Andaikan
beberapa orang masuk masjid pada saat waktu shalat Isya telah masuk,
masing-masing mereka shalat qabliyah Isya di tempat berbeda. Lalu jika ada
seseorang datang ke tempat itu dan berseru kepada orang-orang yang shalat sunah
qabliyah dengan terpisah-pisah, "Wahai Anda sekalian, marilah
kita shalat (sunnah qabliyah) berjama'ah, sebab shalat berjama'ah lebih baik
daripada shalat sendiri-sendiri seperti ini. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda, "Shalat berjama'ah lebih utama daripada shalat sendirian."
Engkau
akan mengatakan "Ini tidak boleh",
bukan karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak melakukannya dan bukan
pula karena tidak seorang pun di antara sahabatnya yang mengerjakan hal itu.
Akan tetapi, tidak bolehnya perbuatan itu kita ketahui bahwa yang dimaksud
dengan shalat jama'ah pada hadits tersebut adalah shalat fardhu, danmereka tidak pernah shalat sunnah
qabliyah secara berjama'ah.
Jika
demikian, apakah engkau mengetahui hal itu berdasarkan nash global? Jawabnya,
"Tidak!" Yang menjadi hujjah di sini adalah, bahwa pengamalan seperti
itu terhadap hadits global di atas belum pernah dilakukan oleh generasi dahulu
(salaf). Inilah sebenarnya jawaban atas apa yang engkau tanyakan, jika mereka
mengetahuinya.
"Peliharalah jenggot"
adalah nash global, sama seperti "shalat
berjama'ah" yang juga nash global. Akan
tetapi apabila seseorang membiarkan jenggotnya hingga mencapai pusernya, maka
ia telah mengamalkan indikasi nash global tersebut. Namun, apakah hal itu
pernah dilakukan oleh generasi terdahulu (salaf)? Jawaban bagi mereka yang
telah mengetahui adalah "Tidak", sedangkan bagi yang belum mengetahui
akan terus mengamalkan semua indikasi nash global tersebut. Adapun orang yang
telah mengetahui akan berkata, "Bagian yang ini (dari nash tersebut) tidak
pernah dilakukan oleh generasi terdahulu".
Inilah kesimpulan jawabannya.
Kami
tidak mengetahui salah seorang pun di kalangan Salafush Shalih -terlebih lagi
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam- membiarkan jenggotnya tanpa batas,
ini yang pertama. Adapun yang kedua, kami telah mengetahui dari sejumlah besar
mereka melakuykan sebaliknya; yakni mereka memotong (merapikan) jenggot. Di
antaranya adalah Abdullah bin Umar bin Khaththab. Akan tetapi, sehubungan
dengan riwayat yang dinukil dari Abdullah bin Umar terdapat sedikit syubhat
(kerancuan), sebab terdapat dua riwayat; pertama, riwayat yang aku sebutkan
saat haji atau umrah, sementara riwayat lain dari beliau menyebutkan memotong
(merapikan) jenggot tanpa batasan. Lalu hal itu diterima dari beliau oleh sebagian
tabi'in; di antaranya Salim bin Abdullah bin Umar, di mana ia biasa juga
memotong jenggotnya, hadits dari Abu Hurairah dan sejumlah tabi'in.
Bahkan Ibrahim
bin Yazid An-Nakha'i (salah
seorang generasi terakhir di kalangan tabi'in) meriwayatkan bahwa para
sahabat biasa memotong jenggot dan tidak membiarkannya sampai panjang.
Berdasarkan hal itu, kenyataan bahwa memotong jenggot dan tidak membiarkannya
sampai panjang, menjadikan perbuatan membiarkan jenggot melebihi ukuran satu
genggam merupakan perkara baru...Sama seperti (permasalahan) melakukan shalat
berjama'ah, baik (antara) yang fardhu maupun (dengan) yang sunnah.
No comments:
Post a Comment