Saturday, January 18, 2014

Bismllah

JANGGUT 
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول لله و من والى – أما بعد
Sesungguhnya hukum  MEMELIHARA janggut dan larangan MENCUKUR (licin) janggut adalah jelas kepada wajib memeliharanya (membiarkannya panjang), dan haram mencukurnya licin.
 Ibnu Hazm bahkan telah menukil ijma’ (kesepakatan) tentang hukum wajibnya memotong kumis dan memelihara jenggot.
 Dalam kitab At-Tamhid Imam Ibnu Abdil Barr berkata: “Haram hukumnya mencukur jenggot, sesungguhnya perbuatan tersebut hanya dilakukan oleh kaum banci.” Yaitu perbuatan tersebut termasuk menyerupai kaum wanita.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan: “Dalil-dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah serta ijma’ telah memerintahkan supaya menyelisihi orang-orang kafir dan melarang menyerupai mereka. Sebab menyerupai mereka secara lahiriyah merupakan sebab menyerupai tabiat dan tingkah laku mereka yang tercela. Bahkan merupakan sebab meniru keyakinan-keyakinan sesat mereka. Dan dapat mewariskan benih-benih kecintaan dan loyalitas dalam batin kepada mereka. Sebagaimana kecintaan dalam hati dapat menyeret kepada penyerupaan dalam bentuk lahiriyah. Imam At-Tirmidzi meriwayatkan bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda: “Bukanlah termasuk golongan kami orang yang menyerupai selain kami. Maka janganlah kalian menyerupai kaum Yahudi dan Nasrani.” Dalam riwayat lain berbunyi: “Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka ia termasuk golongan mereka.” (H.R Imam Ahmad).
Dan mencukur janggut adalah termasuk perbuatan meniru dan menyerupai kaum Yahudi dan Nasara serta kaum majusi.
Dalil-dalinya cukup banyak dapat di kumpulkan seperti berikut;
 “Abdullah bin Umar berkata : Bersabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam : Janganlah kamu menyerupai orang-orang Musyrikin, peliharalah jenggot kamu dan tipiskanlah kumis kamu”. HR al Bukhari, Muslim dan al Baihaqi.
“Dari Abi Imamah : Bersabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam : Potonglah kumis kamu dan peliharalah jenggot kamu, tinggalkan (jangan meniru) Ahl al-Kitab”. Hadits sahih, HR Ahmad dan at Tabrani.
“Dari Aisyah berkata : Bersabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam : Sepuluh perkara dari fitrah (dari sunnah nabi-nabi) diantaranya ialah mencukur kumis dan memelihara jenggot”. HR Ahmad, Muslim, Abu Daud, at Tirmidzi, an Nasaii dan Ibn Majah.
“Dari Abdullah bin Umar berkata : Pernah disebut kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam seorang Majusi maka beliau bersabda : Mereka (orang-orang Majusi) memelihara kumis mereka dan mencukur jenggot mereka, maka (janganlah menyerupai cara mereka) tinggalkan cara mereka”. HR al Baihaqi.
“Dari Ibn Umar Radiyallahu ‘anhu berkata : Kami diperintah supaya memelihara jenggot”. HR Muslim.
“Dari Abi Hurairah : Bersabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam : Cukurlah kumis kamu dan peliharalah jenggot kamu”. HR Muslim.
“Dari Abi Hurairah berkata : Bersabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam : Peliharalah jenggot kamu dan cukurlah kumis kamu, janganlah kamu meniru (menyerupai) Yahudi dan Nasrani”. HR Ahmad.
“Dari Ibn Abbas berkata : Bersabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam : Janganlah kamu meniru (menyerupai) Ajam (orang asing dan kafir), maka peliharalah jenggot kamu”. HR al Bazzar.
“Janganlah kamu menyerupai orang-orang Musyrikin, peliharalah jenggot kamu”. HR al-Bukhari dan Muslim.
Tinggalkan cara mereka (jangan meniru orang-orang musyrik) peliharalah jenggot kamu dan cukurlah kumis kamu”. HR al-Bazzar.
“Tinggalkan cara Majusi (jangan meniru Majusi)”. HR Muslim.
“Dan janganlah kamu sekalian menyerupai Yahudi dan Nasrani”. HR Ahmad.
“Janganlah kamu sekalian menyerupai orang-orang yang bukan Islam, peliharalah jenggot kamu”. HR al-Bazzar.
Jumhur ulama (ulama tafsir, hadits dan fiqah) menegaskan bahwa perintah yang terdapat pada hadits-hadits (tentang jenggot) adalah menunjukkan perintah yang wajib bukan sunnah karena ia menggunakan lafaz atau kalimah “perliharalah janggut” : “nada (gaya) perintah” yang tegas, jelas (dan diulang-ulang).
Permasalahan memotong sebahagian daripada janggut..
Jika di perhatikan kepada dalil-dalil perintah memelihara janggut, ia memnunjukan kepada perintah secara am, tanpa membatasi dengan larangan memotongnya, bermakna jika di ambil daripada perintah umum, seseorang wajib memeliharanya sehingga walaupun janggutnya mencecah lutut..
Oleh itu sebahagian ulama salafiyyin memuthlaqkan pemeliharaan tanpa batasan..
Berkata imam mujaddid al-yemeni sheikh Muqbil rahimahullah; ‘..Demikian pula memotong sebagian jenggot dan membiarkan sebagiannya, ini juga tidak diperbolehkan karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: أعفوا, maknanya adalah biarkanlah sebagaimana diciptakan Allah. Juga sabda beliau وَفِّرُوا, dan ارخوا
begitu jugaa fatwa lajnah daaimah assu’udiyyah; ‘..Dalam riwayat lain disebutkan: “Tebal jenggotnya” dalam riwayat lain: “Banyak jenggotnya”, maknanya sama yakni lebat jenggotnya. Oleh karena itu tidak dibolehkan memotong sedikitpun darinya berdasarkan dalil-dalil umum yang melarangnya.
(Fatawa Lajnah Daimah Jilid V/133, Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al Ilmiyah wal Ifta, Dewan Tetap Arab saudi untuk riset-riset ilmiyah dan fatwa).
Sshaikh al-albani rahimahhullah pula berkata, tidak ada satu hadis pun yang melarang memotong (sebahagian) janggut.
namun menjadi perbahasan adalah apabila terdapat riwayat yang menjelaskan bahawa ibn ‘umar pernah memotong janggutnya sebatas genggaman tangannya..
 “Semasa Ibn Umar mengerjakan haji atau umrah, beliau menggenggam jenggotnya, mana yang lebih (dari genggamannya) dipotong”. HR al-Bukhari.
Malah sheikh Al-albani juga mengatakan bahawa bukan hanya ibn ‘umar sahaja yang melakukannya, bahkan beberapa sahabat lain seperti abu Huraira  r.a, malah seorang tabi’in Ibraahim an-nakho’i berkata; bahawa sahabat dulunya mereka memotong janggut mereka.
Perbedaan pendapat terjadi apabila sebahgian ulaama tidak menggangap perbuatan ibn ‘umar boleh di jadidkan hujjah, seperti pendapat sheikh Muqbil rahimahullah, dia berkata;
‘’.. Adapun riwayat dari Abdullah ibnu ‘Umar radhiallahu 'anhuma bahwa bila melaksanakan haji atau umrah beliau radhiallahu 'anhuma mengambil (memotong) jenggot yang melebihi ukuran genggaman tangan, ini bukanlah hujjah, karena yang dinamakan hujjah adalah Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. 
Maka beliau rahimahullah berpendapat bahawa perintah memelihara janggut harus di praktikkannnya menurut maksud umum, iaitu memeliha janngut tanpa batasan..
Adapun sheikh al-Albani rahimahuhllah mengatakan bahawa perbuataan ibn ‘umar adalah hujjah (fatawa asyrithoh), dan ibn ‘umar sendiri adalah salah seorang dari perawi hadis memerintahkan memelihara janggutt, dan di dalam kaedaah yg mayshhur di  dalam ilmu fiqh mengatakan bahawa; ‘seorang perawi lebih mengetahui tentang apa yg dia riwayatkan daripada orang lain’, dan di ketahui juga ibn ‘umar adalah seorang sahabat yg paling bersungguh-sungguh dan paling bersemangat mengikuti sunnah Rasulullah saw, oleh itu tidak mungkin di dalam perkara ini ibn ‘umar melakukan sesuatu yg tidak di lakukan oleh rasulullah saw.
Sheikh Al-albani berkata; hadis2 memelihara janggut tidak boleh di ambil secara ithlaq kerana terbukti secara amalannya para sahabat membatasinya dengan memotongnya (separas genggaman tangan), hal ini berdasarkan kaedah; ‘ setiap nas yang umum yg tidak  ada praktik amalan secara umum, maka tidak boleh di jadikan hujjah keumumannya’.
Sebagai contoh hadis kelebihan  sholat berjemaah , ; “Shalat berjamaah lebih utama dua puluh tujuh derajat daripada shalat sendirian.” (HR. Al-Bukhari no. 131 dan Muslim no. 650)
 “Shalat seorang laki-laki dengan berjama’ah dibanding shalatnya di rumah atau di pasarnya lebih utama (dilipat gandakan) pahalanya dengan dua puluh lima kali lipat (HR. Al-Bukhari no. 131 dan Muslim no. 649)
Hadis-hadis ini adalah bertaraf umum, namun apakah jika kita masuk ke masjid selepas azan fadhu, kita mengumpulkan orang untuk sholat sunat qobliyah secara jemaah berdasarkan hadis di atas..? jawabnya tidak kerana tidak ada dari perbuatan sahabat dan salaf yg mengamalkannya..!
Begitu juga di perlakukan hadis-hadis memelihara janggut, tidak ada sahabat yg memahami hadis-hadis tersebut sebagai perintah ithlaq membiarkan janggut tanpa batasan, bahkan terdapat perbuatan sahabat yg membataskannya (genggaman tangan). Oleh itu tidak boleh memperlakukan hadis umum atas keumumannya, bila tiada amalan sahabat dan salaf yg mengamalkan keumumannya.
Berkata sheikh Al-albani rahimahullah; (sabda Nabi),  ‘..perliharalah janggut..!’, ini adalah nas yang umum, akan tetapi bolehkah  kita  mengambil amalan di atas nas yang umum ..? jawabannya tidak, kerana disisi kita ada nas-nas daripada salaf (yang membatasi nas umum , iaitu dgn memotong janggut sebatas genggaman tangan) dan tidak ada yang menyelisihi mereka, maka tertegaklah hujjah bahwa mengambil/memotong di bolehkan dengan dalil ibn ‘umar dan mereka yang mengikutinya di kalangan salaf.’ (faawa aysrithoh)
Wallahu’alam
Ini sahaja yg sempat ana susunkan yg kesimpulannya boleh bagi seseorang memotong janggutnya yang melebihi genggaman/cekak tangannya.. malah ada sebahagian salaf yg mengharuskannya..malah sshaikh mengatakan membiarkan janggut tanpa batas sebagai perkara muhdats/baru..
Boleh semak di dalam fawa sheikh al-albani yg berikut..
Penanya:

Kami telah mengetahui dari sebagian ikhwan penuntut ilmu, bahwa syaikh mengatakan kepada orang yang membiarkan jenggotnya (panjangnya) melebihi satu genggaman tangan bahwa mereka termasuk ahli bid'ah, sementara Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dalam berbagai hadits bersabda tentang memelihara jenggot. Kami telah mendengar pula bahwa Ibnu Umar biasa mencukur lebih pendek dari satu satu genggaman tangan apabila naik haji ataupun umrah. Berilah keterangan kepada kami, bagaimana orang yang demikian dikatakan melakukan bid'ah sementara Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dalam berbagai hadits bersabda, "Peliharalah jenggot."

Syaikh Al-Albani rahimahullah menjawab:

Persoalan ini pada hakikatnya termasuk masalah-masalah fikih yang sangat memerlukan kejelian dan lahir dari pemahaman. Ia berdiri di atas asas syar'i. Barangsiapa yang telah memahami asas ini, maka akan mudah baginya memahami masalah cabangnya dan persoalan-persoalan parsial lain yang sangat banyak.

Aku katakan pada momen seperti ini, sesungguhnya semua nash global (umum) yang dinukil dari Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam dan padanya terdapat bagian yang masuk dalam cakupan nash global tersebut, kita ketahui dengan cara tertentu bahwa bagian ini tidak diamalkan oleh Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam ataupun Salafush Shalih. Maka, pada kondisi demikian mengamalkan bagian tersebut -meski masuk dalam cakupan nash global- tetap dianggap melakukan perbuatan baru dalam agama.

Pada hakikatnya, kelalaian terhadap kaidah ini -dalam memahami nash-nash yang demikian banyak- telah menjerumuskan kaum muslimin, khususnya di abad-abad belakangan, hingga mereka membuka peluang seluas-luasnya bagi diri mereka untuk mengadakan tata cara dalam agama dan dalam taqarrub kepada Allah, Tuhan semesta alam; yaitu berupa bid'ah dan hal-hal baru yang mereka adakan.

Pada kesempatan ini, aku akan menyebutkan sekian banyak contoh bagi permasalahan ini. Di antaranya perbuatan yang belum pernah dilakukan oleh kaum muslimin hingga saat ini, namun perbuatan yang serupa puluhan, ratusan dan bahkan ribuan telah dipraktikkan. Perbedaanya hanya karena apa yang akan aku sebutkan belum pernah dilakukan. Bukan karena kedudukannya sebagai bid'ah, akan tetapi semata-mata karena belum menjadi kebiasaan. Sedangkan bid'ah-bid'ah mirip sekali dengan perbuatan ini, hanya saja mereka menyederhanakannya lalu mengamalkannya karena kebiasaan yang berlaku sudah demikian. Mari kita sebutkan contoh yang dimaksud.

Setiap kita mengetahui sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, "Shalat berjama'ah lebih utama daripada shalat sendiri dengan dua puluh lima -dalam riwayat lain dua puluh tujuh- kali derajat" Disebutkan di sini shalat berjama'ah, sementara hadits yang bersifat global dan lebih luas cakupannya dari itu adalah, "Tangan Allah bersama jama'ah."

Andaikan beberapa orang masuk masjid pada saat waktu shalat Isya telah masuk, masing-masing mereka shalat qabliyah Isya di tempat berbeda. Lalu jika ada seseorang datang ke tempat itu dan berseru kepada orang-orang yang shalat sunah qabliyah dengan terpisah-pisah, "Wahai Anda sekalian, marilah kita shalat (sunnah qabliyah) berjama'ah, sebab shalat berjama'ah lebih baik daripada shalat sendiri-sendiri seperti ini. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Shalat berjama'ah lebih utama daripada shalat sendirian."

Engkau akan mengatakan "Ini tidak boleh", bukan karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak melakukannya dan bukan pula karena tidak seorang pun di antara sahabatnya yang mengerjakan hal itu. Akan tetapi, tidak bolehnya perbuatan itu kita ketahui bahwa yang dimaksud dengan shalat jama'ah pada hadits tersebut adalah shalat fardhu, danmereka tidak pernah shalat sunnah qabliyah secara berjama'ah.

Jika demikian, apakah engkau mengetahui hal itu berdasarkan nash global? Jawabnya, "Tidak!" Yang menjadi hujjah di sini adalah, bahwa pengamalan seperti itu terhadap hadits global di atas belum pernah dilakukan oleh generasi dahulu (salaf). Inilah sebenarnya jawaban atas apa yang engkau tanyakan, jika mereka mengetahuinya.

"Peliharalah jenggot" adalah nash global, sama seperti "shalat berjama'ah" yang juga nash global. Akan tetapi apabila seseorang membiarkan jenggotnya hingga mencapai pusernya, maka ia telah mengamalkan indikasi nash global tersebut. Namun, apakah hal itu pernah dilakukan oleh generasi terdahulu (salaf)? Jawaban bagi mereka yang telah mengetahui adalah "Tidak", sedangkan bagi yang belum mengetahui akan terus mengamalkan semua indikasi nash global tersebut. Adapun orang yang telah mengetahui akan berkata, "Bagian yang ini (dari nash tersebut) tidak pernah dilakukan oleh generasi terdahulu". Inilah kesimpulan jawabannya.

Kami tidak mengetahui salah seorang pun di kalangan Salafush Shalih -terlebih lagi Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam- membiarkan jenggotnya tanpa batas, ini yang pertama. Adapun yang kedua, kami telah mengetahui dari sejumlah besar mereka melakuykan sebaliknya; yakni mereka memotong (merapikan) jenggot. Di antaranya adalah Abdullah bin Umar bin Khaththab. Akan tetapi, sehubungan dengan riwayat yang dinukil dari Abdullah bin Umar terdapat sedikit syubhat (kerancuan), sebab terdapat dua riwayat; pertama, riwayat yang aku sebutkan saat haji atau umrah, sementara riwayat lain dari beliau menyebutkan memotong (merapikan) jenggot tanpa batasan. Lalu hal itu diterima dari beliau oleh sebagian tabi'in; di antaranya Salim bin Abdullah bin Umar, di mana ia biasa juga memotong jenggotnya, hadits dari Abu Hurairah dan sejumlah tabi'in.

Bahkan Ibrahim bin Yazid An-Nakha'i (salah seorang generasi terakhir di kalangan tabi'in) meriwayatkan bahwa para sahabat biasa memotong jenggot dan tidak membiarkannya sampai panjang. Berdasarkan hal itu, kenyataan bahwa memotong jenggot dan tidak membiarkannya sampai panjang, menjadikan perbuatan membiarkan jenggot melebihi ukuran satu genggam merupakan perkara baru...Sama seperti (permasalahan) melakukan shalat berjama'ah, baik (antara) yang fardhu maupun (dengan) yang sunnah.







No comments: