Wednesday, November 11, 2015

TATACARA BERZIKR DAN BERDOA SELESAI SHOLAT FARDHU

Bismillah.
Jika Anda berada di Saudi Arabia, akan terlihat fenomena dzikir yang berbeda setelah shalat lima waktu yang jarang kita lihat di tanah air. Para jamaah sama sekali tidak melakukan dzikir berjama’ah dengan dikomandoi imam sebagaimana kita lihat di sekitar kita, di tanah air. Mereka berdzikir sendiri-sendiri, namun dengan mengeraskan suara. Inilah di antara pendapat fikih Hambali yang dianut di kerajaan Saudi Arabia. Namun bagaimana tuntunan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai dzikir sesudah shalat, apakah benar dengan mengeraskan suara?
Dalil yang Jadi Rujukan
Dari Ibnu Jarir, ia berkata, ‘Amr telah berkata padaku bahwa Abu Ma’bad –bekas budak Ibnu ‘Abbas- mengabarkan kepadanya bahwa Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,
أَنَّ رَفْعَ الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ حِينَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنَ الْمَكْتُوبَةِ كَانَ عَلَى عَهْدِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – . وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ كُنْتُ أَعْلَمُ إِذَا انْصَرَفُوا بِذَلِكَ إِذَا سَمِعْتُهُ
Mengeraskan suara pada dzikir setelah shalat wajib telah ada di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Ibnu ‘Abbas berkata, “Aku mengetahui bahwa shalat telah selesai dengan mendengar hal itu, yaitu jika aku mendengarnya.” (HR. Bukhari no. 805 dan Muslim no. 583)
Dalam riwayat lainnya disebutkan,
كُنَّا نَعْرِفُ انْقِضَاءَ صَلاَةِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِالتَّكْبِيرِ
Kami dahulu mengetahui berakhirnya shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui suara takbir.” (HR. Bukhari no. 806 dan Muslim no. 583)
Berdasarkan hadits di atas, sebagian ulama berpendapat, “Dianjurkan mengeraskan suara pada dzikir setelah shalat.” Di antara yang berpendapat seperti ini adalah Ibnu Hazm. Beliau berkata,
ورفع الصوت بالتكبير إثر كل صلاة حسن
Mengeraskan suara dengan bertakbir pada dzikir sesudah shalat adalah suatu amalan yang baik.” (Al Muhalla, 4: 260)
Demikian juga pendapat Ath Thobari, beliau berkata,
فيه الإبانه عن صحة ما كان يفعله الأمراء من التكبير عقب الصلاة
Hadits ini sebagai isyarat benarnya perbuatan para imam yang bertakbir setelah shalat.” (Rujuk Fathul Bari, 2: 325)
Pendapat Jumhur
Mayoritas ulama (baca: jumhur) menyelisihi pendapat di atas. Di antara alasannya disinggung oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari.
Setelah menyebutkan perkataan Ath Thobari, Ibnu Hajar Al Asqolani menyebutkan perkataan Ibnu Battol yang mengatakan, “Hal ini tidak pernah dilakukan oleh ulama salaf selain apa yang diceritakan dari Ibnu Habib dalamAl Wadhihah, yaitu mereka senang bertakbir saat peperangan setelah shalat Shubuh, ‘Isya’ dengan tiga kali takbir. Beliau berkata bahwa ini adalah perbuatan yang dilakukan di masa silam. Ibnu Battol dalam Al ‘Utaibah menyebutkan bahwa Imam Malik berkata, “Amalan tersebut muhdats (amalan bid’ah, direka-reka).” (Fathul Bari, 2: 325-326)
Pendapat jumhur inilah yang lebih tepat.
Pijakan Jumhur
Dalam hadits Abu Musa Al Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – ، فَكُنَّا إِذَا أَشْرَفْنَا عَلَى وَادٍ هَلَّلْنَا وَكَبَّرْنَا ارْتَفَعَتْ أَصْوَاتُنَا ، فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « يَا أَيُّهَا النَّاسُ ، ارْبَعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ ، فَإِنَّكُمْ لاَ تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلاَ غَائِبًا ، إِنَّهُ مَعَكُمْ ، إِنَّهُ سَمِيعٌ قَرِيبٌ ، تَبَارَكَ اسْمُهُ وَتَعَالَى جَدُّهُ »
Kami pernah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika sampai ke suatu lembah, kami bertahlil dan bertakbir dengan mengeraskan suara kami. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda, “Wahai sekalian manusia. Lirihkanlah suara kalian. Kalian tidaklah menyeru sesuatu yang tuli dan ghoib. Sesungguhnya Allah bersama kalian. Allah Maha Mendengar dan Maha Dekat. Maha berkah nama dan Maha Tinggi kemuliaan-Nya.” (HR. Bukhari no. 2830 dan Muslim no. 2704).
 Hal ini menunjukkan bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallamtidaklah suka dengan suara keras saat dzikir dan do’a.
Ath Thobari rahimahullah berkata,
فِيهِ كَرَاهِيَة رَفْع الصَّوْت بِالدُّعَاءِ وَالذِّكْر ، وَبِهِ قَالَ عَامَّة السَّلَف مِنْ الصَّحَابَة وَالتَّابِعِينَ اِنْتَهَى
“Hadits ini menunjukkan dimakruhkannya mengeraskan suara pada do’a dan dzikir. Demikianlah yang dikatakan para salaf yaitu para sahabat dan tabi’in.” (Fathul Bari, 6: 135)[1]
Adapun anjuran mengeraskan suara pada dzikir sesudah shalat, tidaklah tepat. Karena yang dilakukan oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidaklah membiasakan hal itu.  Beliau boleh jadi pernah melakukannya, namun hanya dalam rangka ta’lim atau pengajaran, bukan kebiasaan yang terus menerus. Demikianlah pendapat Imam Syafi’i dan pendapat mayoritas ulama lainnya. Imam Syafi’i dalam Al Umm (1: 151) berkata,
وأحسبه إنما جهر قليلا ليتعلم الناس منه وذلك لأن عامة الروايات التي كتبناها مع هذا وغيرها ليس يذكر فيها بعد التسليم
“Aku menganggap bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam menjaherkan suaranya sedikit untuk mengajari para sahabat. Karena kebanyakan riwayat yang aku tulis dan riwayat lainnya menyebutkan bahwa beliau tidak berdzikir dengan tahlil dan takbir setelah salam. Dan terkadang beliau juga berdzikir dengan tata cara yang pernah disebutkan.”
Imam Syafi’i berpendapat bahwa asal dzikir adalah dengan suara lirih (tidak dengan jaher), berdalil dengan ayat,
وَلَا تَجْهَرْ بِصَلَاتِكَ وَلَا تُخَافِتْ بِهَا
Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula terlalu merendahkannya” (QS. Al Isro’: 110). Imam Syafi’i rahimahullah berkata tentang ayat tersebut, “Janganlah menjaherkan, yaitu mengeraskan suara. Jangan pula terlalu merendehkan sehingga engkau tidak bisa mendengarnya sendiri.” (Al Umm, 1: 150)
Imam Asy Syatibi rahimahullah berkata, “Do’a jama’i atau berjama’ah (dengan dikomandai dan satu suara) yang dilakukan terus menerus tidak pernah dilakukan oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana pula tidak ada perkataan atau persetujuan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam akan amalan ini. Dalam riwayat Bukhari dari hadits Ummu Salamah disebutkan, “Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya diam sesaat setelah salam.” Ibnu Syihab berkata, “Beliau diam sampai para wanita keluar. Demikian anggapan kami.” Dalam riwayat Muslim disebutkan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Beliau tidaklah duduk selain sekadar membaca, “Allahumma antas salaam wa minkas salaam tabaroka ya dzal jalaali wal ikrom.” (Al I’tishom, 1: 351)
Namun perlu diperhatikan bahwa hadits Ibnu ‘Abbas yang telah kami sebutkan bukanlah dalil dzikir dengan satu suara (dzikir jama’ah). Dalil tersebut tidak menunjukkan bahwa dzikir sesudah shalat harus dikomandoi oleh seorang imam sebagaimana kita saksikan sendiri di beberapa masjid di sekitar kita. Yang tepat adalah dzikir dilakukan secara individu, tanpa dikomandoi dan tidak dengan suara keras.
Faedah dari Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah rahimahullah menyebutkan, “Yang disunnahkan dalam setiap do’a adalah dengan melirihkan suara kecuali jika ada sebab yang memerintahkan untuk menjaherkan. Allah Ta’ala berfirman,
ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
Berdoalah kepada Rabbmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al A’rof: 55)
Allah menceritakan tentang Zakariya,
إِذْ نَادَى رَبَّهُ نِدَاءً خَفِيًّا
Yaitu tatkala ia berdoa kepada Rabbnya dengan suara yang lembut.” (QS. Maryam: 3)
Demikian pula yang diperintahkan dalam dzikir. Allah Ta’ala berfirman,
وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالْآَصَالِ
Dan sebutlah (nama) Rabbmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang.” (QS. Al A’raf: 205). 
Dalam shahihain disebutkan bahwa para sahabat pernah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam perjalanan. Mereka mengeraskan suara mereka saat itu. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَيُّهَا النَّاسُ أَرْبِعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ ؛ فَإِنَّكُمْ لَا تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلَا غَائِبًا وَإِنَّمَا تَدْعُونَ سَمِيعًا قَرِيبًا إنَّ الَّذِي تَدْعُونَهُ أَقْرَبُ إلَى أَحَدِكُمْ مِنْ عُنُقِ رَاحِلَتِهِ
Wahai sekalian manusia, lirihkanlah suara kalian. Kalian tidaklah berdo’a pada sesuatu yang tuli lagi ghoib (tidak ada). Yang kalian seru (yaitu Allah), Maha Mendengar lagi Maha Dekat. Sungguh yang kalian seru itu lebih dekat pada salah seorang di antara kalian lebih dari leher tunggangannya.” 
Inilah yang disebutkan oleh para ulama ketika dalam hal shalat dan do’a, di mana mereka sepakat akan hal ini. (Majmu’ Al Fatawa, 22: 468-469)
Faedah Dzikir dengan Lirih
Berikut di antara faedah dzikir dan do’a lebih baik dengan suara lirih:
Pertama: Menunjukkan keimanan yang baik, karena orang yang berdzikir dengan melirihkan suara berarti mengimani Allah akan selalu mendengar seruan hamba-Nya meskipun lirih.
Kedua: Inilah adab yang mulia di hadapan Al Malik, Sang Raja dari segala raja. Ketika seorang hamba bersimpu di hadapan Sang Raja, tentu saja ia tidak mengeraskan suara.
Ketiga: Lebih menunjukkan ketundukkan dan kekhusyu’an yang merupakan ruh dan inti do’a. Orang yang meminta tentu saja akan merendahkan diri, akan menundukkan hatinya pada yang diminta. Hal ini sulit muncul dari orang yang mengeraskan do’anya.
Keempat: Lebih meraih keikhlasan. [2]
Penutup
Setelah mengetahui hal ini, kita perlu menghargai sebagian orang yang mengeraskan suara pada dzikir sesudah shalat. Mereka jelas memiliki acuan, tetapi kurang tepat karena tidak merujuk lagi pada riwayat lainnya. Yang tidak tepat bahkan dinilai bid’ah adalah berdo’a dan berdzikir berjama’ah dengan satu suara. Ini jelas tidak pernah diajarkan oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lihat sekali lagi perkataan Asy Syatibi di atas.
عَنْ عَائِشَةَ ( وَلاَ تَجْهَرْ بِصَلاَتِكَ وَلاَ تُخَافِتْ بِهَا ) أُنْزِلَتْ فِى الدُّعَاءِ .
Dari ‘Aisyah, mengenai firman Allah, “Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula terlalu merendahkannya”. 
Ayat ini turun berkenaan dengan masalah do’a. (HR. Bukhari no. 6327)
Ingatlah, sebaik-baik petunjuk adalah tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.
@ Sabic Lab, Riyadh KSA, 25 Dzulhijjah 1432 H
[di ambil dari www.rumaysho.com ]


[1] Perkataan Ath Thobari berbeda dengan perkataan beliau sebelumnya yang membolehkan dzikir sesudah shalat dengan suara keras.
[2] Tulisan di atas banyak diolah dari link: http://www.saaid.net/Doat/ehsan/108.htm

Tuesday, November 10, 2015

PENDAPAT ULAMA YANG MENOLAK HADIS DHOIF SECARA MUTLAQ

BISMILLAH.
alhamdulillah, beza orang yang menyintai Nabi saw dengan memperhatikan hadis-hadis Nabi yg shahih dan berhati-hati dengan hadis yg lemah dan dusta yg di nisbahkan kepada Baginda saw - dengan orang yg menyintai hawa nafsunya dengan mengutamakan hadis dhoif untuk meremehkan sunnah sahihah demi menyuburkan bid'ah hasanah dalam agama ciptaan mereka, sabda Nabi saw; 
'barangsiapa yg berdusta atas namaku dengan sengaja, maka sediakan tempat duduknya di neraka' - sahih
mereka yang merasa dengki dengan golongan Ahlussunnah yg mengajak ummat kembali kepada berpegang dengna SUNNAH-SUNNAH YANG SAHIH, dan menolak hadis dhoif sebagai hukum dan menggelarkan mereka sebagai wahabi!! demi Allah! mereka akan di minta pertangungjawabkan di hari kita berdiri di hadapan Allah swt dengan fitnah ini..

------------------------------------------

PENDAPAT BEBERAPA ULAMA TENTANG BERAMAL DENGAN HADITS-HADITS DHAIF 

Di kalangan ulama, ustadz dan kyai sudah tersebar bahwa hadits-hadits dha’if boleh dipakai untuk fadhaa-ilul a’maal. Mereka menyangka tentang bolehnya itu tidak ada khilaf di antara ulama. Mereka berpegang kepada perka-taan Imam an-Nawawi yang menyatakan bahwa bolehnya hal itu sudah disepakati oleh ahli ilmu.

HUKUM BERAMAL DENGAN HADIS DHOIF UTK FADHOIL 'AMAL BUKAN IJMA'..!

Apa yang dinyatakan Imam an-Nawawi rahimahullah tentang adanya kesepakatan ulama yang membolehkan memakai hadits dha’if untuk fadhaa-ilul a’maal ini merupakan satu kekeliruan yang nyata. Sebab, ada ulama yang tidak sepakat dan tidak setuju digunakannya hadits dha’if untuk fadhaa-ilul a’maal. Ada beberapa pakar hadits dan ulama-ulama ahli tahqiq yang berpendapat bahwa hadits dha’if tidak boleh dipakai secara mutlak, baik hal itu dalam masalah ahkam (hukum-hukum) maupun fadha-il.

IMAM AL-BUKHORY, IMAM MUSLIM - RAHIMAHUMALLAH WAHABI?!!!

Syaikh Muhammad Jamaluddin al-Qasimi menyebutkan dalam kitabnya, Qawaaidut Tahdits:

“Hadits-hadits dha’if tidak bisa dipakai secara mutlak untuk ahkaam maupun untuk fadhaa-ilul a’maal, hal ini disebutkan oleh Ibnu Sayyidin Nas dalam kitabnya, ‘Uyunul Atsar, dari Yahya bin Ma’in dan disebutkan juga di dalam kitab Fat-hul Mughits. Ulama yang berpendapat demikian adalah Abu Bakar Ibnul Araby, Imam al-Bukhari, Imam Muslim dan Imam Ibnu Hazm. [Qawaaidut Tahdits min Fununi Musthalahil Hadits, hal. 113, tahqiq: Muhammad Bahjah al-Baithar]

Menurut Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albany rahimahullah (Ahli Hadits zaman sekarang ini), ia berpendapat: “Pendapat Imam al-Bukhari inilah yang benar dan aku tidak meragukan tentang kebenarannya.” [Tamaamul Minnah fii Ta’liq ‘ala Fiqhis Sunnah hal. 34, cet. Daarur Rayah, th. 1409 H]

HUJJAH PARA ULAMA YANG MENOLAK HADIS DHOIF

Pertama.
Hadits dha’if hanyalah mendatangkan sangkaan yang sangat lemah, orang mengamalkan sesuatu dengan prasangka, bukan sesuatu yang pasti diyakini.
Firman Allah:

“Artinya : Sesungguhnya sangka-sangka itu sedikit pun tidak bisa mengalahkan kebenaran.” [Yunus: 36]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِيَّاكُمْ والَظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيْثِ

"Artinya : Jauhkanlah dirimu dari sangka-sangka, karena sesungguhnya sangka-sangka itu sedusta-dusta perkataan.” [HR. Al-Bukhari (no. 5143, 6066) dan Muslim (no. 2563) dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu]

Kedua.
Kata-kata fadhaa-ilul a’maal menunjukkan bahwa amal-amal tersebut harus sudah ada nashnya yang shahih. Adapun hadits dha’if itu sekedar penambah semangat (targhib), atau untuk mengancam (tarhiib) dari amalan yang sudah diperintahkan atau dilarang dalam hadits atau riwayat yang shahih. 

Ketiga.
Hadits dha’if itu masih meragukan, apakah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau bukan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

دَعْ مَا يَرِيْبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيْبُكَ

"Artinya Tinggalkanlah apa-apa yang meragukan kamu (menuju) kepada yang tidak meragukan.” [HR. Ahmad (I/200), at-Tirmidzi (no. 2518) dan an-Nasa-i (VIII/327-328), ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabir (no. 2708, 2711), dan at-Tirmidzi berkata, “Hadits hasan shahih.”]

Keempat.
Penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah tentang perkataan Imam Ahmad,

“Apabila kami meriwayatkan masalah yang halal dan haram, kami sangat keras (harus hadits yang shahih), tetapi apabila kami meriwayatkan masalah fadhaa-il, targhiib wat tarhiib, kami tasaahul (bermudah-mudah).”

Kata Syaikhul Islam:

“Maksud perkataan ini bukanlah menyunnahkan suatu amalan dengan hadits dha’if yang tidak bisa dijadikan sebagai hujjah, karena masalah sunnah adalah masalah syar’i, maka yang harus dipakai pun haruslah dalil syar’i. Barangsiapa yang mengabarkan bahwa Allah cinta pada suatu amalan, tetapi dia tidak bawakan dalil syar’i (hadits yang shahih), maka sesungguhnya dia telah mengadakan syari’at yang tidak diizinkan oleh Allah, sebagaimana dia menetapkan hukum wajib dan haram.[ Majmuu’ Fataawaa, oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (XVIII/65).]

Kelima.
Syaikh Ahmad Muhammad Syakir menerangkan tentang maksud perkataan Imam Ahmad, Abdurahman bin Mahdi dan ‘Abdullah Ibnul Mubarak tersebut, beliau berkata,

“Bahwa yang dimaksud tasaahul (bermudah-mudah) di sini ialah mereka mengambil hadits-hadits hasan yang tidak sampai ke derajat shahih untuk masalah fadhaa-il. Karena istilah untuk membedakan antara hadits shahih dengan hadits hasan belum terkenal pada masa itu. Bahkan kebanyakan dari ulama mutaqadimin (ulama terdahulu) hanyalah membagi derajat hadits itu kepada shahih atau dha’if saja. (Sedang yang dimaksud dha’if itu sebagiannya adalah hadits hasan yang bisa dipakai untuk fadhaa-ilul a’maal-pen). [Baaitsul Hatsits Syarah Ikhtishaar Uluumil Hadiits, oleh Syaikh Ahmad Muhammad Syakir (hal 87), cet. III Maktabah Daarut Turats, th. 1979 M/1399 H atau cet. I Daarul ‘Ashimah, ta’liq: Syaikh al-Albany]

Sebagai tambahan dan penguat pendapat ulama yang tidak membolehkan dipakainya hadits dha’if untuk fadhaa-ilul a’maal.

Saya bawakan pendapat Dr. Subhi Shalih, ia berkata: “Menurut pendapat agama yang tidak diragukan lagi bahwa riwayat lemah tidak mungkin untuk dijadikan sumber dalam masalah ahkam syar’i dan tidak juga untuk fadhilah akhlaq (targhib wat tarhib), karena sesungguhnya zhan atau persangkaan tidak bisa mengalahkan yang haq sedikit pun. Dalam masalah fadhaa'il sama seperti ahkam, ia termasuk pondasi agama yang pokok, dan tidak boleh sama sekali bangunan pondasi ini lemah yang berada di tepi jurang yang dalam. Oleh karena itu, kita tidak bisa selamat bila kita meriwayatkan hadits-hadits dha’if untuk fadhaa-ilul a’maal, meskipun sudah disebutkan syarat-syaratnya.” [ Lihat Uluumul Hadiits wa Musthalaahuhu (hal. 211), oleh Dr. Subhi Shalih, cet. 1982 M]

Imam Ibnu Rajab al-Hambali rahimahullah berkata,
فأما الأئمة وفقهاء أهل الحديث فإنهم يتبعون الحديث الصحيح حيث كان
“Para imam dan ulama hadits hanya mengikuti hadits yang shahih saja.”(Fadl Ilmi as-Salaf hal. 57) .
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
لا يجوز أن يعتمد فى الشريعة على الأحاديث الضعيفة التى ليست صحيحة ولا حسنة
“Syari’at ini tidak boleh bertopang pada hadits-hadits lemah yang tidak berkategori shahih (valid berasal dari nabi) dan hasan.” (Majmu’ al-Fatawa1/250).
Dr. Muhammad Ajaj Al-Khathib berkata,”Tidak ragu lagi, pendapat pertama (Hadits dla’if tidak bisa diamalkan secara mutlak, baik dalam fadlail maupun persoalan yang menyangkut tentang ahkam (hukum syari’ah). merupakan pendapat yang paling selamat. Kita memiliki cukup banyak hadits-hadits shahih tentang fadlail, targhib, dan tarhib, yang merupakan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam.
Hal tersebut membuat kita tidak perlu meriwayatkan hadits-hadits dla’if mengenai masalah fadlail dan sejenisnya; lebih-lebih bab fadlail dan akhlaq yang termasuk pilar agama. Sehingga tidak ada perbedaan antara hal-hal tersebut dengan hukum-hukum, ditinjau dari segi kekuatan sumbernya (shahih atau hasan), sehingga sumbernya harus khabar-khabar yang bisa diterima”
[selesai – Ushulul Hadits oleh Dr. Muhammad ’Ajaj Al-Khathib]

Sunday, August 17, 2014

RozanYusof invites you to Ummaland.

Assalamu alaykum,

RozanYusof invites you to Ummaland
Assalamu alaykum,

I just discovered Ummaland - Social Network for Muslims and those who are interested in Islam.

Join me on Ummaland by following this link:.

Ummaland is a social network for Muslims which focuses on your success and what really matters here and hereafter.

To accept this invitation,please, follow the link below:
http://www.ummaland.com/invite/id_678878/


Download iPhone App or Android App



Wassalam,
www.ummaland.com

Email Notifications | Invite Friends

P.S.: We are raising funds to help our brother and sisters in Gaza.
Click here to support: Gaza Crisis Appeal

Saturday, January 25, 2014

tafseer surah Al-Furqon : 30

bismillah.

firman Allah ta'ala;

"berkatalah Rasul: "Ya Tuhanku, Sesungguhnya kaumku menjadikan Al Quran itu sesuatu yang tidak diacuhkan".


berkata ibn Katsier rahimahullah di dalam tafsirnya;

Allah ta'ala mengkhabarkan tentang Rasul dan Nabi-NYA MUhammad - صلوات الله وسلامه عليه - selamanya hingga ke hari Pembalaan, sesungguhnya dia berkata; "Wahai Tuhanku,sesungguhnya kaumku menjadikan Al-quran itu sesuatu yang di tinggalkan/tidak di acuhkan", dan yang demikian kaum Musyrik pada dahulu tidak mahu mendengarkan Al-quran, sebagaimana firman Allah di dalam surah Al-Fushilats ayat 26, yg bermaksud;
 
 "dan orang-orang yang kafir berkata: "Janganlah kamu mendengar dengan sungguh-sungguh akan Al Quran ini dan buatlah hiruk-pikuk terhadapnya, supaya kamu dapat mengalahkan mereka".
 

(antara bentuk pengabaian al-quran) : 
  • Dahulu jika dibacakan kepada mereka ayat Al-quran mereka akan banyak membuat kacau dan perkataan selainnya agar tidak mendengarkan al-Quran, dan ini adalah bentuk pengabaiannya
  • Meninggalkan pengajian dan hafalan
  • Tidak beriman dan tidak mempercayainya
  • Meninggalkan pemahamannya dan pemerhatiannya
  • meninggalkan amalan Al-Quran yang berupa perintah dan larangan
  • memesongkan (keutamaan) al-quran kepada yang lain, seperti lebih banyak mendengarkan syair-syair dan musik atau perkataan yang sia-sia atau mengambil toriqoh yang lain (dalam mempraktikkan al-quran)
kita memohon kepada Allah ta'ala  Al-mannan dan yang berkuasa atas segala sesuautu agar menyisihkan kita dari kemarahan-NYA, dan memberi kita taufiq agar beramal dengan apa yang di redhoinya dalam memahami serta menghafal kitab-Nya Al-quran dan menegakkan tuntutan-tuntutannya siang dan malam di dalam kerdhoaan-Nya sesungguhnya dia maha pemurah dan maha pemberi.





----------------
JANA INCOME DENGAN HANDPHONE
BAGAIMANA?

Saturday, January 18, 2014

Bismllah

JANGGUT 
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول لله و من والى – أما بعد
Sesungguhnya hukum  MEMELIHARA janggut dan larangan MENCUKUR (licin) janggut adalah jelas kepada wajib memeliharanya (membiarkannya panjang), dan haram mencukurnya licin.
 Ibnu Hazm bahkan telah menukil ijma’ (kesepakatan) tentang hukum wajibnya memotong kumis dan memelihara jenggot.
 Dalam kitab At-Tamhid Imam Ibnu Abdil Barr berkata: “Haram hukumnya mencukur jenggot, sesungguhnya perbuatan tersebut hanya dilakukan oleh kaum banci.” Yaitu perbuatan tersebut termasuk menyerupai kaum wanita.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan: “Dalil-dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah serta ijma’ telah memerintahkan supaya menyelisihi orang-orang kafir dan melarang menyerupai mereka. Sebab menyerupai mereka secara lahiriyah merupakan sebab menyerupai tabiat dan tingkah laku mereka yang tercela. Bahkan merupakan sebab meniru keyakinan-keyakinan sesat mereka. Dan dapat mewariskan benih-benih kecintaan dan loyalitas dalam batin kepada mereka. Sebagaimana kecintaan dalam hati dapat menyeret kepada penyerupaan dalam bentuk lahiriyah. Imam At-Tirmidzi meriwayatkan bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda: “Bukanlah termasuk golongan kami orang yang menyerupai selain kami. Maka janganlah kalian menyerupai kaum Yahudi dan Nasrani.” Dalam riwayat lain berbunyi: “Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka ia termasuk golongan mereka.” (H.R Imam Ahmad).
Dan mencukur janggut adalah termasuk perbuatan meniru dan menyerupai kaum Yahudi dan Nasara serta kaum majusi.
Dalil-dalinya cukup banyak dapat di kumpulkan seperti berikut;
 “Abdullah bin Umar berkata : Bersabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam : Janganlah kamu menyerupai orang-orang Musyrikin, peliharalah jenggot kamu dan tipiskanlah kumis kamu”. HR al Bukhari, Muslim dan al Baihaqi.
“Dari Abi Imamah : Bersabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam : Potonglah kumis kamu dan peliharalah jenggot kamu, tinggalkan (jangan meniru) Ahl al-Kitab”. Hadits sahih, HR Ahmad dan at Tabrani.
“Dari Aisyah berkata : Bersabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam : Sepuluh perkara dari fitrah (dari sunnah nabi-nabi) diantaranya ialah mencukur kumis dan memelihara jenggot”. HR Ahmad, Muslim, Abu Daud, at Tirmidzi, an Nasaii dan Ibn Majah.
“Dari Abdullah bin Umar berkata : Pernah disebut kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam seorang Majusi maka beliau bersabda : Mereka (orang-orang Majusi) memelihara kumis mereka dan mencukur jenggot mereka, maka (janganlah menyerupai cara mereka) tinggalkan cara mereka”. HR al Baihaqi.
“Dari Ibn Umar Radiyallahu ‘anhu berkata : Kami diperintah supaya memelihara jenggot”. HR Muslim.
“Dari Abi Hurairah : Bersabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam : Cukurlah kumis kamu dan peliharalah jenggot kamu”. HR Muslim.
“Dari Abi Hurairah berkata : Bersabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam : Peliharalah jenggot kamu dan cukurlah kumis kamu, janganlah kamu meniru (menyerupai) Yahudi dan Nasrani”. HR Ahmad.
“Dari Ibn Abbas berkata : Bersabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam : Janganlah kamu meniru (menyerupai) Ajam (orang asing dan kafir), maka peliharalah jenggot kamu”. HR al Bazzar.
“Janganlah kamu menyerupai orang-orang Musyrikin, peliharalah jenggot kamu”. HR al-Bukhari dan Muslim.
Tinggalkan cara mereka (jangan meniru orang-orang musyrik) peliharalah jenggot kamu dan cukurlah kumis kamu”. HR al-Bazzar.
“Tinggalkan cara Majusi (jangan meniru Majusi)”. HR Muslim.
“Dan janganlah kamu sekalian menyerupai Yahudi dan Nasrani”. HR Ahmad.
“Janganlah kamu sekalian menyerupai orang-orang yang bukan Islam, peliharalah jenggot kamu”. HR al-Bazzar.
Jumhur ulama (ulama tafsir, hadits dan fiqah) menegaskan bahwa perintah yang terdapat pada hadits-hadits (tentang jenggot) adalah menunjukkan perintah yang wajib bukan sunnah karena ia menggunakan lafaz atau kalimah “perliharalah janggut” : “nada (gaya) perintah” yang tegas, jelas (dan diulang-ulang).
Permasalahan memotong sebahagian daripada janggut..
Jika di perhatikan kepada dalil-dalil perintah memelihara janggut, ia memnunjukan kepada perintah secara am, tanpa membatasi dengan larangan memotongnya, bermakna jika di ambil daripada perintah umum, seseorang wajib memeliharanya sehingga walaupun janggutnya mencecah lutut..
Oleh itu sebahagian ulama salafiyyin memuthlaqkan pemeliharaan tanpa batasan..
Berkata imam mujaddid al-yemeni sheikh Muqbil rahimahullah; ‘..Demikian pula memotong sebagian jenggot dan membiarkan sebagiannya, ini juga tidak diperbolehkan karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: أعفوا, maknanya adalah biarkanlah sebagaimana diciptakan Allah. Juga sabda beliau وَفِّرُوا, dan ارخوا
begitu jugaa fatwa lajnah daaimah assu’udiyyah; ‘..Dalam riwayat lain disebutkan: “Tebal jenggotnya” dalam riwayat lain: “Banyak jenggotnya”, maknanya sama yakni lebat jenggotnya. Oleh karena itu tidak dibolehkan memotong sedikitpun darinya berdasarkan dalil-dalil umum yang melarangnya.
(Fatawa Lajnah Daimah Jilid V/133, Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al Ilmiyah wal Ifta, Dewan Tetap Arab saudi untuk riset-riset ilmiyah dan fatwa).
Sshaikh al-albani rahimahhullah pula berkata, tidak ada satu hadis pun yang melarang memotong (sebahagian) janggut.
namun menjadi perbahasan adalah apabila terdapat riwayat yang menjelaskan bahawa ibn ‘umar pernah memotong janggutnya sebatas genggaman tangannya..
 “Semasa Ibn Umar mengerjakan haji atau umrah, beliau menggenggam jenggotnya, mana yang lebih (dari genggamannya) dipotong”. HR al-Bukhari.
Malah sheikh Al-albani juga mengatakan bahawa bukan hanya ibn ‘umar sahaja yang melakukannya, bahkan beberapa sahabat lain seperti abu Huraira  r.a, malah seorang tabi’in Ibraahim an-nakho’i berkata; bahawa sahabat dulunya mereka memotong janggut mereka.
Perbedaan pendapat terjadi apabila sebahgian ulaama tidak menggangap perbuatan ibn ‘umar boleh di jadidkan hujjah, seperti pendapat sheikh Muqbil rahimahullah, dia berkata;
‘’.. Adapun riwayat dari Abdullah ibnu ‘Umar radhiallahu 'anhuma bahwa bila melaksanakan haji atau umrah beliau radhiallahu 'anhuma mengambil (memotong) jenggot yang melebihi ukuran genggaman tangan, ini bukanlah hujjah, karena yang dinamakan hujjah adalah Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. 
Maka beliau rahimahullah berpendapat bahawa perintah memelihara janggut harus di praktikkannnya menurut maksud umum, iaitu memeliha janngut tanpa batasan..
Adapun sheikh al-Albani rahimahuhllah mengatakan bahawa perbuataan ibn ‘umar adalah hujjah (fatawa asyrithoh), dan ibn ‘umar sendiri adalah salah seorang dari perawi hadis memerintahkan memelihara janggutt, dan di dalam kaedaah yg mayshhur di  dalam ilmu fiqh mengatakan bahawa; ‘seorang perawi lebih mengetahui tentang apa yg dia riwayatkan daripada orang lain’, dan di ketahui juga ibn ‘umar adalah seorang sahabat yg paling bersungguh-sungguh dan paling bersemangat mengikuti sunnah Rasulullah saw, oleh itu tidak mungkin di dalam perkara ini ibn ‘umar melakukan sesuatu yg tidak di lakukan oleh rasulullah saw.
Sheikh Al-albani berkata; hadis2 memelihara janggut tidak boleh di ambil secara ithlaq kerana terbukti secara amalannya para sahabat membatasinya dengan memotongnya (separas genggaman tangan), hal ini berdasarkan kaedah; ‘ setiap nas yang umum yg tidak  ada praktik amalan secara umum, maka tidak boleh di jadikan hujjah keumumannya’.
Sebagai contoh hadis kelebihan  sholat berjemaah , ; “Shalat berjamaah lebih utama dua puluh tujuh derajat daripada shalat sendirian.” (HR. Al-Bukhari no. 131 dan Muslim no. 650)
 “Shalat seorang laki-laki dengan berjama’ah dibanding shalatnya di rumah atau di pasarnya lebih utama (dilipat gandakan) pahalanya dengan dua puluh lima kali lipat (HR. Al-Bukhari no. 131 dan Muslim no. 649)
Hadis-hadis ini adalah bertaraf umum, namun apakah jika kita masuk ke masjid selepas azan fadhu, kita mengumpulkan orang untuk sholat sunat qobliyah secara jemaah berdasarkan hadis di atas..? jawabnya tidak kerana tidak ada dari perbuatan sahabat dan salaf yg mengamalkannya..!
Begitu juga di perlakukan hadis-hadis memelihara janggut, tidak ada sahabat yg memahami hadis-hadis tersebut sebagai perintah ithlaq membiarkan janggut tanpa batasan, bahkan terdapat perbuatan sahabat yg membataskannya (genggaman tangan). Oleh itu tidak boleh memperlakukan hadis umum atas keumumannya, bila tiada amalan sahabat dan salaf yg mengamalkan keumumannya.
Berkata sheikh Al-albani rahimahullah; (sabda Nabi),  ‘..perliharalah janggut..!’, ini adalah nas yang umum, akan tetapi bolehkah  kita  mengambil amalan di atas nas yang umum ..? jawabannya tidak, kerana disisi kita ada nas-nas daripada salaf (yang membatasi nas umum , iaitu dgn memotong janggut sebatas genggaman tangan) dan tidak ada yang menyelisihi mereka, maka tertegaklah hujjah bahwa mengambil/memotong di bolehkan dengan dalil ibn ‘umar dan mereka yang mengikutinya di kalangan salaf.’ (faawa aysrithoh)
Wallahu’alam
Ini sahaja yg sempat ana susunkan yg kesimpulannya boleh bagi seseorang memotong janggutnya yang melebihi genggaman/cekak tangannya.. malah ada sebahagian salaf yg mengharuskannya..malah sshaikh mengatakan membiarkan janggut tanpa batas sebagai perkara muhdats/baru..
Boleh semak di dalam fawa sheikh al-albani yg berikut..
Penanya:

Kami telah mengetahui dari sebagian ikhwan penuntut ilmu, bahwa syaikh mengatakan kepada orang yang membiarkan jenggotnya (panjangnya) melebihi satu genggaman tangan bahwa mereka termasuk ahli bid'ah, sementara Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dalam berbagai hadits bersabda tentang memelihara jenggot. Kami telah mendengar pula bahwa Ibnu Umar biasa mencukur lebih pendek dari satu satu genggaman tangan apabila naik haji ataupun umrah. Berilah keterangan kepada kami, bagaimana orang yang demikian dikatakan melakukan bid'ah sementara Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dalam berbagai hadits bersabda, "Peliharalah jenggot."

Syaikh Al-Albani rahimahullah menjawab:

Persoalan ini pada hakikatnya termasuk masalah-masalah fikih yang sangat memerlukan kejelian dan lahir dari pemahaman. Ia berdiri di atas asas syar'i. Barangsiapa yang telah memahami asas ini, maka akan mudah baginya memahami masalah cabangnya dan persoalan-persoalan parsial lain yang sangat banyak.

Aku katakan pada momen seperti ini, sesungguhnya semua nash global (umum) yang dinukil dari Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam dan padanya terdapat bagian yang masuk dalam cakupan nash global tersebut, kita ketahui dengan cara tertentu bahwa bagian ini tidak diamalkan oleh Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam ataupun Salafush Shalih. Maka, pada kondisi demikian mengamalkan bagian tersebut -meski masuk dalam cakupan nash global- tetap dianggap melakukan perbuatan baru dalam agama.

Pada hakikatnya, kelalaian terhadap kaidah ini -dalam memahami nash-nash yang demikian banyak- telah menjerumuskan kaum muslimin, khususnya di abad-abad belakangan, hingga mereka membuka peluang seluas-luasnya bagi diri mereka untuk mengadakan tata cara dalam agama dan dalam taqarrub kepada Allah, Tuhan semesta alam; yaitu berupa bid'ah dan hal-hal baru yang mereka adakan.

Pada kesempatan ini, aku akan menyebutkan sekian banyak contoh bagi permasalahan ini. Di antaranya perbuatan yang belum pernah dilakukan oleh kaum muslimin hingga saat ini, namun perbuatan yang serupa puluhan, ratusan dan bahkan ribuan telah dipraktikkan. Perbedaanya hanya karena apa yang akan aku sebutkan belum pernah dilakukan. Bukan karena kedudukannya sebagai bid'ah, akan tetapi semata-mata karena belum menjadi kebiasaan. Sedangkan bid'ah-bid'ah mirip sekali dengan perbuatan ini, hanya saja mereka menyederhanakannya lalu mengamalkannya karena kebiasaan yang berlaku sudah demikian. Mari kita sebutkan contoh yang dimaksud.

Setiap kita mengetahui sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, "Shalat berjama'ah lebih utama daripada shalat sendiri dengan dua puluh lima -dalam riwayat lain dua puluh tujuh- kali derajat" Disebutkan di sini shalat berjama'ah, sementara hadits yang bersifat global dan lebih luas cakupannya dari itu adalah, "Tangan Allah bersama jama'ah."

Andaikan beberapa orang masuk masjid pada saat waktu shalat Isya telah masuk, masing-masing mereka shalat qabliyah Isya di tempat berbeda. Lalu jika ada seseorang datang ke tempat itu dan berseru kepada orang-orang yang shalat sunah qabliyah dengan terpisah-pisah, "Wahai Anda sekalian, marilah kita shalat (sunnah qabliyah) berjama'ah, sebab shalat berjama'ah lebih baik daripada shalat sendiri-sendiri seperti ini. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Shalat berjama'ah lebih utama daripada shalat sendirian."

Engkau akan mengatakan "Ini tidak boleh", bukan karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak melakukannya dan bukan pula karena tidak seorang pun di antara sahabatnya yang mengerjakan hal itu. Akan tetapi, tidak bolehnya perbuatan itu kita ketahui bahwa yang dimaksud dengan shalat jama'ah pada hadits tersebut adalah shalat fardhu, danmereka tidak pernah shalat sunnah qabliyah secara berjama'ah.

Jika demikian, apakah engkau mengetahui hal itu berdasarkan nash global? Jawabnya, "Tidak!" Yang menjadi hujjah di sini adalah, bahwa pengamalan seperti itu terhadap hadits global di atas belum pernah dilakukan oleh generasi dahulu (salaf). Inilah sebenarnya jawaban atas apa yang engkau tanyakan, jika mereka mengetahuinya.

"Peliharalah jenggot" adalah nash global, sama seperti "shalat berjama'ah" yang juga nash global. Akan tetapi apabila seseorang membiarkan jenggotnya hingga mencapai pusernya, maka ia telah mengamalkan indikasi nash global tersebut. Namun, apakah hal itu pernah dilakukan oleh generasi terdahulu (salaf)? Jawaban bagi mereka yang telah mengetahui adalah "Tidak", sedangkan bagi yang belum mengetahui akan terus mengamalkan semua indikasi nash global tersebut. Adapun orang yang telah mengetahui akan berkata, "Bagian yang ini (dari nash tersebut) tidak pernah dilakukan oleh generasi terdahulu". Inilah kesimpulan jawabannya.

Kami tidak mengetahui salah seorang pun di kalangan Salafush Shalih -terlebih lagi Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam- membiarkan jenggotnya tanpa batas, ini yang pertama. Adapun yang kedua, kami telah mengetahui dari sejumlah besar mereka melakuykan sebaliknya; yakni mereka memotong (merapikan) jenggot. Di antaranya adalah Abdullah bin Umar bin Khaththab. Akan tetapi, sehubungan dengan riwayat yang dinukil dari Abdullah bin Umar terdapat sedikit syubhat (kerancuan), sebab terdapat dua riwayat; pertama, riwayat yang aku sebutkan saat haji atau umrah, sementara riwayat lain dari beliau menyebutkan memotong (merapikan) jenggot tanpa batasan. Lalu hal itu diterima dari beliau oleh sebagian tabi'in; di antaranya Salim bin Abdullah bin Umar, di mana ia biasa juga memotong jenggotnya, hadits dari Abu Hurairah dan sejumlah tabi'in.

Bahkan Ibrahim bin Yazid An-Nakha'i (salah seorang generasi terakhir di kalangan tabi'in) meriwayatkan bahwa para sahabat biasa memotong jenggot dan tidak membiarkannya sampai panjang. Berdasarkan hal itu, kenyataan bahwa memotong jenggot dan tidak membiarkannya sampai panjang, menjadikan perbuatan membiarkan jenggot melebihi ukuran satu genggam merupakan perkara baru...Sama seperti (permasalahan) melakukan shalat berjama'ah, baik (antara) yang fardhu maupun (dengan) yang sunnah.